Generasi Emas 2045—sebuah istilah yang terdengar menjanjikan, penuh harapan, dan menggugah semangat. Pemerintah, media, bahkan institusi pendidikan menggembar-gemborkan betapa pentingnya peran generasi muda hari ini dalam mewujudkan Indonesia yang unggul saat negara ini genap berusia 100 tahun. Namun di balik retorika manis itu, banyak anak muda justru merasa seperti sedang ikut undian besar: bekerja keras tanpa jaminan, bersaing dalam sistem yang timpang, dan berharap keberuntungan berpihak pada mereka.

Tekanan untuk "sukses" datang dari segala arah. Sekolah menuntut nilai sempurna, media sosial memamerkan standar hidup tinggi, sementara dunia kerja semakin tak pasti. Tak sedikit dari mereka yang merasa bahwa menjadi bagian dari Generasi Emas bukanlah prestasi yang bisa dicapai, melainkan beban yang harus ditanggung. Banyak yang bertanya-tanya: bagaimana bisa kami diminta membangun masa depan negara, jika hari ini saja kami kesulitan mencari pekerjaan yang layak atau sekadar ruang untuk tumbuh?

Di sisi lain, masih ada semangat yang tak padam. Anak muda hari ini lebih terhubung, lebih sadar akan isu sosial, dan lebih berani bersuara. Tapi mereka juga lebih lelah. Mereka tahu bahwa mimpi besar tanpa sistem yang mendukung hanya akan menjadi jargon kosong. Ketika infrastruktur pendidikan masih timpang, kesenjangan ekonomi melebar, dan meritokrasi sering dikalahkan oleh koneksi, bagaimana mungkin semua anak muda punya peluang yang sama untuk menjadi bagian dari “Generasi Emas”?

Mungkin yang paling menyakitkan adalah ketika idealisme berbenturan dengan realita. Banyak dari generasi ini merasa mereka bukan sedang dipersiapkan untuk 2045, melainkan sedang diuji siapa yang bisa bertahan paling lama dalam permainan yang tidak adil. Maka, keluh kesah itu pun sah adanya—bukan sebagai bentuk pesimisme, tetapi sebagai pengingat bahwa harapan tanpa perbaikan nyata hanyalah lotre. Dan tak semua orang menang dalam undian erek erek itu.